Sabtu, 22 Agustus 2009

Pengaruh Berpikir Positif dan Negatif dalam kehidupan sehari-hari

Para ahli motivasi dan kesehatan berpendapat bahwa berfikir positif akan melahirkan kebiasaan-kebiasaan positif seperti : jiwa yang selalu optimis, percaya diri, kreatif dan lain sebagianya. Sebaliknya pikirin negatif akan melahirkan kebiasaan-kebiasaan negative pula seperti : jiwa yang pesimis, rendah diri, reaktif dan lain-lain.


Terkait dengan berfikir positif dan negative ini, seorang imuwan Jepang yang bernama Dr. Masaru Emoto, menulis sebuah buku yang berjudul “The True Power of Water”. Dalam buku ini dibahas mengenai hasil penemuannya setelah melakukan penelitian terhadap air. Bersama temannya seorang ilmuwan yang ahli mikroskop bernama Kazuya Ishibashi berhasil mendapatkan foto-foto kristal air pertama di dunia dengan reaksi atau respons terhadap kata-kata yang diucapkan manusia baik yang positif maupun negatif.


Dari penelitan Masaru Emoto itu didapatkan bahwa air mampu merespon kata-kata negatif maupun posistif. Jika kita mengatakan kepada air kata-kata “Cinta atau terimakasih” maka hasil foto kristal air membentuk segi enam yang indah. Sebaliknya jika kita mengatakan kepada air “kamu bodoh” maka kristal air justru membentuk gambar yang jelek sekali. Dan ketika dibacakan do’a maka kristal air membentuk gambar yang sangat indah. Kesimpulannya bahwa air memiliki respon terhadap kata-kata sama halnya seperti manusia. Mengapa? Tubuh kita sendiri terdiri dari 70% air. Jika kita memiliki pikiran negatif maka air dalam tubuh kita juga akan membentuk pola yang negatif. Akibatnya malah bisa menimbulkan penyakit atau masalah lainnya. 


Dari hasil Penelitian ini maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa bahwa ucapan, pikiran dan perbuatan yang tidak baik ternyata mampu mengalirkan energi negatif yang merubah segala sesuatunya menjadi tidak baik. 


Menurut para ahli kesehatan bahwa stress ternyata memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap timbulnya penyakit karena pikiran yang stress akan memancarkan gelombang energi negatif ke seluruh tubuh. Sebaliknya jika kita berfikir positif, maka energi positif akan memancarkan gelombang energi yang posisitif sehingga kesehatan akan semakin baik karena air dalam tubuh kita akan membentuk pola energi yang baik juga. Demikian gelombang energi positif ini akan mempengaruhi lingkungan sekitar kita hingga berdampak positif bagi kita. Hasilnya adalah kesuksesan hanya akan terjadi jika kita berpikiran positif. 


Bagaimana jika kita memiliki kebiasaan atau perangai yang buruk? Tentunya orang-orang yang disekitar kita akan banyak mencemooh, membenci, mengumpat, bahkan mungkin ada orang yang akan mendo’akan hal-hal buruk agar menimpa diri kita. Dan sebaliknya jika kita memiliki kebiasaan dan akhlak yang baik maka orang-orang di sekitar kita akan mencintai, menyayangi dan mendo’akan untuk hal-hal yang baik.


Dengan membiasakan diri berpikir positif, maka sesungguhnya kita akan mampu menghambat energi negatif yang akan menghantam diri kita, entah berupa penyakit stress, maupun yang lainnya. Hal ini telah dibuktikan pula bahwa air yang telah diberi doa/kalimat positif ternyata masih tetap membentuk kristal meski kemudian diperdengarkan kata-kata negatif. 

Untuk menjadi positif maka kita harus memiliki pikiran dan kebiasaan yang positif. Memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi untuk berhasil, kita harus mencoba dan mencoba lagi. Kita tidak boleh menyerah. Kita harus sabar. Kita harus tetap bersemangat dan perlu komitment yang sungguh-sunggu dalam diri untuk mencapai hal itu. Sebagaimana menurut Stephen R Covey dalam bukunya the seven habits bahwa ”Kebiasaan sulit berubah, tetapi bisa dirubah dengan komitmen yang sungguh-sungguh.”. Kebiasaan adalah aktivitas yang dikerjakan tanpa perlu berpikir dulu


Jadi tunggu apa lagi !?? berpikirlah positif mulai sekarang dan tularkanlah energi positif itu kepada orang-orang di sekeliling kita seperti keluarga, rekan kerja, dan lingkungan kita.(kms)


Sumber :


- Buku “The True Power of Water” (Dr. Masaru Emoto)

- The Seven Habits (Stephen R Covey)

- Kutipan dari berbagai sumber

Sederhana dengan Puasa

Jakarta - Hidup sederhana menjadi salah satu tujuan utama yang juga ingin digapai dari ibadah puasa. Orang yang sederhana dalam penampilan dan gaya hidup kesehariannya merupakan titik tolak kesadaran tinggi hidup bersosial.

Sikap dan gaya hidup berlebihan, glamor, dan sombong mesti dijauhkan dalam sikap hidup kita. Karena orang yang suka berlebih-lebihan merupakan tanda sikap individualistik yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan nasib orang lain di sekitarnya.

Gaya hidup berlebih-lebihan inilah yang sering diperingatkan Allah dalam Alquran. Karena sikap ini adalah awal bencana dalam kehidupan sosial. Jika dalam diri seseorang telah tertanam ambisi untuk memperkaya diri sendiri ia akan sangat mudah terseret untuk menghalalkan segala cara demi meraih apa yang ia cita-citakan. Dan ini sangat berbahaya bagi kehidupan sosial.

Dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar. Orang akan makin asyik dengan perilaku negatif yang dilakukannya. Akhirnya jika gaya hidup berlebih-lebihan terus dipupuk lambat laun ia akan menjadi budaya yang berakar kuat.

Rasulullah SAW adalah satu teladan mulia yang memperlihatkan sikap sederhana. Meskipun beliau memiliki kedudukan terpandang di masyarakat Arab kala itu beliau sama sekali tidak berobsesi dan berkeinginan untuk memamerkan kedudukannya.

Rumah beliau sangat sederhana. Alas tidur pun hanya pelepah daun kurma yang membekas di pipi beliau setiap kali bangun tidur. Sikap hidup sederhana ini pulalah yang dibudayakan oleh para khalifah sepeninggal Nabi SAW.

Menahan makan dan minum di bulan suci Ramadhan merupakan cara efektif melatih seseorang menjadi sosok-sosok manusia sederhana dalam kehidupan sosialnya. Jika makan dan minum saja dibatasi apalagi berumah megah dan bermobil mewah.

Untuk kebutuhan primer saja kita telah dibatasi untuk sesederhana mungkin. Apalagi untuk kebutuhan sekunder dan tersier. Kalaupun kita kaya sesungguhnya bukan untuk bermewah-mewah.

Kekayaan merupakan fasilitas dari Tuhan agar kita bisa berbuat baik lebih banyak lagi untuk menolong orang yang membutuhkan. Mungkin dengan cara membuat lapangan pekerjaan lebih banyak, membuat sekolahan dan rumah sakit, mendirikan masjid atau madrasah atau apa pun yang bisa bermanfaat bagi sesama.

Rosi Sugiarto
Pondok TK Al Firdaus BSB Jatisari Mijen Semarang
eroscintapadamu@yahoo.co.id

Pembunuh Bukan Mujahid

Ketika melayat jenazah dua pelaku teror, Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono (Rabu, 12/8/2009), Abu Bakar Baasyir menyebut keduanya sebagai mujahid dan bukan teroris.

Sungguh, sebuah pernyataan yang mengganggu kemanusiaan kita. Baasyir memang dikenal sebagai pejuang formalisasi syariat Islam. Menurutnya, bentuk negara yang dikehendaki (dan diridai) Tuhan adalah negara yang sepenuhnya menegakkan syariat Islam secara formal konstitusional dan bukan (ideologi) ciptaan manusia. Karena itu, dalam banyak kesempatan, Baasyir menyebut pemerintahan Indonesia, termasuk SBY, adalah pemerintahan yang thagut (tiran; model yang dianut Fir'aun), yang zalim, kafir, dan munafik (seperti disebut oleh Surat Al-Baqarah).

Dalam konteks inilah seseorang mesti berjihad; memperjuangkan bentuk negara dengan model konstitusi Islam dan berperang melawan musuh-musuhnya. Semua pelaku teror yang siap meledakkan bom pasti atas nama jihad. Ideologi ini sudah sedemikian mantap menancap dalam pikiran dan keyakinan mereka, karena dalam Islam tak ada pahala yang lebih tinggi dan agung selain berjihad. Seorang mujahid akan menjadi "pengantin" surga, dan surganya pun tidak tanggung-tanggung- surga yang paling tinggi bersama para nabi dan kekasih (awliya) Tuhan.

Benarkah kaum teroris adalah mereka yang berjihad dengan kompensasi pahala tersebut? Kita perlu melihat konsep jihad itu secara utuh. Jika merujuk pada Alquran, kitab suci itu menggunakan dua istilah yang berbeda, tetapi maknanya sering disamakan: jihad dan qital. Jihad berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qital berarti peperangan. Karena itu harus dipahami jika Alquran menggunakan ayat jihad artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum; sementara bila menggunakan ayat qital, artinya sudah khusus peperangan.

Perbedaan dua istilah Alquran itu berpulang pada dua sebab. Pertama, ayat jihad telah turun sejak periode Islam Mekkah, ketika tidak pernah terjadi satu pun peperangan, jihad dalam periode Islam Mekkah adalah jihad nonperang. Sangat mustahil bila jihad pada periode ini dimaknai sebagai peperangan. Jihad yang bukan qital ini bisa kita temukan dalam Surat Al-Furqan ayat 52, An-Nahl ayat 110, Luqman ayat 15, dan Al- Ankabut ayat 69. Adapun ayat-ayat qital hanya turun pada periode Madinah yang penuh dengan gemuruh peperangan.

Kedua, aktivitas perang dalam Alquran memang menggunakan ayat-ayat qital secara jelas, bukan dengan ayat jihad. Surat Al-Hajj ayat 39 menyebutkan telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi. Demikian juga surat Al-Baqarah ayat 190 yang berbunyi dan perangilah (qatiluu) orang-orang yang memerangimu. Nah, ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah, tidak terelakkan muncul makna kontekstual waktu sebagai "perang".

Dari sinilah sumber masalah muncul: menyamakan atau menafsirkan ayat jihad dengan ayat qital. Kaum teroris atau mereka yang seideologi selalu mengunci kata jihad dalam konteks peperangan saja. Padahal, menurut Gamal al-Banna-adik bungsu pendiri Ikhwan al-Muslimin: Hasan al-Banna-dalam Al-Jihad, jihad dan qital harus dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qital, meskipun qital pada zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad.

Baginya jihad adalah mabda' (prinsip) yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya, sedangkan perang hanyalah medium (washilah), yang tidak prinsipal dan sangat situasional. (Mohamad Guntur Romli, Memaknai Kembali Jihad, 2006).***

Harus diakui, Alquran memang kitab suci yang terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, kecenderungan dan selera sang penafsir. Namun, harus diyakini pula bahwa kebenaran mutlak/pasti makna ayat-ayat Alquran hanya Tuhan saja yang mengetahui.

Manusia tahu, tapi pengetahuan atau kebenaran pengetahuannya bersifat relatif: bisa salah bisa pula mendekati kebenaran. Kebenaran mutlak milik Tuhan belaka. Karena itu, ulama-ulama tafsir, terutama yang klasik, dengan rendah hati selalu mengakhiri uraian tafsirnya dengan mengatakan wallahu a'lam bish-shawab (Allah yang lebih tahu kebenarannya) atau Allahu a'lam bimuradihi (Allah yang lebih mengetahui maksudnya). Dengan demikian, kita tidak dapat menafsir firman-firman Tuhan dengan natur ketuhanan.

Yang dapat kita lakukan adalah menafsir Tuhan (agama) dengan natur kemanusiaan kita. Fitrah kemanusiaan kita cenderung mendorong kita untuk hidup: untuk membangun, bukan untuk mati; bukan untuk merusak, apalagi membunuh. Ada adagium yang berbunyi, "Senjata tidak membunuh orang, oranglah yang membunuh sesamanya." Pepatah ini mengandung arti, agama bukanlah masalah, tetapi oranglah yang menjadi masalah.

Sama dengan perkataan Ali bin Abi Thalib, "Alquran itu adalah teks yang diam, manusialah yang membunyikannya (dan memberi makna)." Atau pendapat seorang pakar komunikasi modern, "The words can not means but the people mean," kata-kata tidak bisa memberi makna, manusialah yang memberi makna atau menafsirkannya. Karena Tuhan tidak bisa ditanya maksud dari setiap kata-kata sabda-Nya, maka manusialah yang menafsir dan memberi makna.

Karena manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, agung dan bermartabat, maka interpretasi dan artikulasi atas setiap teks-teks Tuhan dalam kitab suci-Nya mesti dalam konteks menyelamatkan, menghargai dan mencintai manusia, bukan malah menyakiti atau membunuhnya. Mayoritas ulama Islam yang waras dan sehat tetap sepakat bahwa kita tidak sedang dalam keadaan perang fisik atau diperangi secara fisik oleh "orang-orang kafir".

Negeri kita adalah "negeri yang damai" (dar al-salam), bukan negeri Islam (dar al-Islam), tetapi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan hukum positif kita telah sesuai dengan "ruh" atau "substansi" syariat Islam. Karena itu tidak alasan syar'i untuk melakukan qital. Boleh saja kaum teroris mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah perintah dan atas nama Tuhan, tetapi natur keberagamaan kita yang humanis tidak dapat menerima hal itu.

Orang yang melakukan bunuh diri dan membunuh orang adalah pembunuh, bukan mujahid. MUI telah berfatwa bahwa perbuatan mereka terkutuk dan bukan jihad, kematian mereka pun bukan mati syahid. Dalam perspektif makna jihad yang humanis, Quraish Shihab menegaskan bahwa memberantas kebodohan, kemiskinan, korupsi, dan penyakit adalah jihad yang tak kurang pentingnya daripada mengangkat senjata. Dulu, ketika kemerdekaan belum diraih, jihad mengakibatkan terenggutnya jiwa, hilangnya harta benda, dan terurainya kesedihan dan air mata.

Kini, jihad harus membuahkan terpeliharanya jiwa, terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab, melebarnya senyum dan terhapusnya air mata, serta berkembangnya harta benda (Shihab, Wawasan Alquran, 1996). Singkat kata, untuk dunia kita saat ini jihad berarti menghidupi dan membangun, bukan membunuh atau merusak.

Hal yang tak kalah penting, jihad juga berarti mengekang hawa nafsu, yang dalam pengertian spesifiknya adalah melakukan ibadah puasa seperti yang akan kita jalani sebentar lagi. Waallahu a'lam bishshawab.(*)

Media Zainul Bahri
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta